Menyingkap Kerajaan Islam


(Wawancara Republika dengan Herman Sinung Janutama)
Republika, Senin 5 Juli 2010

Selama ini, buku-buku sejarah mengungkap bahwa Islam mulai masuk ke Indonesia khususnya di Jawa sejak kerajaan Demak. Namun dari berbagai data seperti Babad Majapahit, cerita para sesepuh serta berbagai artefak di situs, candi, makam, dan masjid yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY ternyata menunjukkan bahwa Islam masuk di Jawa jauh sebelum itu dan sejak zaman Majapahit kerajaan ini sudah Islam. Dari data itulah, Herman Sinung Janutama menulis buku yang berjudul “Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi”. Buku tersebut sengaja diluncurkan dalam rangka menyambut Muktamar I Abad Muhammadiyah atas permintaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Untuk mengetahui latar belakang dan fakta-fata sejarah serta target dari diterbitkan buku tersebut, wartawan Republika, Neni Ridarineni mewawancarai penulis buku tersebut.


Bisa diceritakan latar belakang penulisan buku tersebut?

Semuanya serba kebetulan saja. Saya orangnya senang berziarah ke situs-situs. Dan ternyata banyak artefak dan bahan-bahan lain yang saya temukan, dari sinilah kemudian saya tulis dalam buku dan tidak menyangka bisa menjadi buku seperti ini. Memang untuk menggali informasi, saya dapatkan dari pernyataan pinisepuh pada tahun 2008. Dia berkata, “siapa bilang Majapahit itu Hindu?”
Kemudian setelah itu Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta bersedia menerbitkan buku ini dan dilaunching bersamaan dengan pembukaan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah.

Bisa dicontohkan bahan yang diperoleh dari ketldaksengajaan itu?

Di kompleks Trowulan Mojokerto terdapat situs yang dinamakan oleh masyarakat setempat sebagai Resi Maudoro atau Tribuwana Tungga Dewi. Situs tersebut berupa sebuah yoni yang berhiaskan ornamen-ornamen yang kalau diperhatikan merupakan tulisan Allah. Bagi saya kalau orang muslim mudah membacanya.
Kemudian di Sidoarjo ada artefak dengan lambang Surya Majapahit dengan menggunakan kata dan tulisan Arab yang terbacanya: Allah, Muhammad, Adam, Tauhid, Dzat, Asma, Sifat dan Ma’rifat. Dari lambang kerajaan ini dapat diperkirakan secara mudah bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan kesultanan Islam di Jawa atau Nusantara. Lambang Majapahit tersebut juga dapat dilihat pada sampul buku karya sejarawan berkebangsaan Perancis Denys Lombard yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris). Hal ini yang membuat kami berpikir sebetulnya bagaimana Islam masuk ke Indonesia.

Selain itu adakah bukti lalnnya?

Ada, seperti cerita rakyat di sekitar situs, selalu tentang Islam, tetapi kalau yang berbicara bahwa kerajaan Majapahit itu Hindu pasti orang-orang akademisi. Sehingga pertanyaan kami, mengapa animo masyarakat yang merespon situs sebagaimana muslim saja dan menjadi obyek ziarah umat Islam seperti makam Pitu Troloyo?

Lalu di Candi Panataran ada gambar orang berjenggot dan memberi wejangan. Di umpak Candi Panataran reliefnya sama dengan hiasan dinding di Masjid Demak. Ini yang membuat kami berpandangan tentu tidak mungkin bila ini tidak berarti apa-apa. Lantas di Masjid Lowano Bagelen Purworejo dan Karanganyar Solo, dari sisi tahun, merupakan peninggalan zaman Majapahit.

Di Jepara terdapat sebuah kompleks makam Islam peninggalan Majapahit yang disebut masyarakat Makam Bata Putih. Pada nisan makam-makam tersebut terdapat lambang Surya Majapahit dengan inskripsi kalimah Thayyibah ‘Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’.

Kemudian seperti kita ketahui berdirinya Demak itu karena restu Raja Majapahit Brawijaya V. Ini terbukti dengan dikirimnya saka Majapahit ke Demak menjadi serambi Masjid Demak. Saka ini diantar Kanjeng Sultan Brawijaya V sendiri dan dikawal oleh dua putranya yaitu Pangeran Bondan Kejawan dan Pangeran Bondan Surati. Dengan demikian Demak Bintara sungguh-sungguh merupakan Bandar Majapahit.


Hal seperti itu apakah belum pernah diungkap di buku-buku yang ditulis orang lain?

Kalau di buku-buku sejarah lain memang hal itu tidak banyak diungkap. Tetapi kalau di kalangan tradisi para sesepuh, cerita-cerita seperti itu biasa mereka bicarakan.

Dengan begitu, apakah buku ini baru satu-satunya yang mengulas secara detail tentang kerajaan Islam di zaman Majapahit?

Ya betul.
Saya hanya mengungkap apa yang selama ini dibicarakan oleh para sesepuh dan minimal dipertimbangkan bahwa para sesepuh memberi warisan narasi sejarah seperti itu. Meskipun untuk pembuktian ilmiah perlu waktu panjang.

Apa metodologi yang digunakan dalam pengumpulan data dan penulisan buku?

Dalam metodologi kami menggunakan strukturalisme sedangkan dalam hal membaca kami menggunakan semiotika Morgin Ferdinand de Sausure. Dan kami memandang budaya itu saling pengaruh dan dipengaruhi. Harus ada semangat pada zaman itu yang ditangkap. Karena itu dalam penelitian Majapahit kami buka dan cari relasi ke seluruh dunia seperti Putri Champa, Timur Tengah, Hadramaut, jalur sutra laut, jalur sutra darat, dan sebagainya.


Apakah ada rencana menulis lagi yang berkaitan dengan buku Ini?

Buku yang saya tulis ini baru jilid pertama yang isinya sekelumit tentang pendirian masa awal Majapahit dan isu-isu Majapahit secara umum. Nanti akan dilanjutkan dengan penulisan jilid dua dan tiga. Karena kami ingin detail. Jilid II dan III isinya tentang Zaman Rajasanagara, Sri Sultan Hayam Wuruk, Desa Warnana, Cheng Ho, Masa Akhir Majapahit transisi ke Demak.

Anda tidak takut berpolemik dengan masyarakat terutama kalangan akademisi?

Ya mau tidak mau harus berpolemik. Tapi bagi saya jauh lebih penting kalau berpolemik dalam hal data. Misalnya ada data ini. Karena saya bicara dengan data, karena itu para pengkritik juga berbicara dengan data juga sehingga memperkaya, bukan asumsi dan prestasi.

Dari mana nara sumber?

Dari makam, candi dan silsilah, masjid dan kami langsung ekspedisi ke situs-situs peninggalan Majapahit. Dalam silsilah Kraton pasti sampai terhubung ke Rasulullah SAW. Karena dalam tradisi Alawiyin para bendoro (priyayi agung) memang klannya ada Assegaf, Al-Aidrus dan ini mudah sekali menghubungkan dengan Rasulullah.

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam buku ini siapa saja?

Kami tidak membuat kajian tokoh, tetapi ada juga beberapa yang kami sebut seperti Eyang Sayyid Jumadil Kubro, Eyang Maulana Malik Ibrahim, dll. Kami ingin membuat suatu buku yang alurnya mudah dinikmati oleh masyarakat, ada ceritanya. Di buku ini kami menyebut Eyang Sayyid Jumadil Kubro, Eyang Maulana Malik Ibrahim. Saya berani menggunakan kata Kesultanan berdasarkan batu batu nisan Eyang Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Di nisan tersebut ada inskripsi sekitar tujuh baris yang menyebutkan bahwa Eyang Maulana Malik adalah kebanggaan para Sultan dan Mentri.

Yang dimaksud kebanggaan Sultan dan Mentri ini siapa? Ini berarti Sultan dan Mentri Majapahit. Berarti saya bisa menyebutkan Majapahit itu kesultanan karena di dalam nisan disebut ‘salatin’ (para sultan). Eyang Maulana Malik Ibrahim ini wafat tahun 1419 sehingga berarti nisan ini memberi tahu pada kita bahwa beliau hidup sekitar 1350-an atau 1360-an dan ini berarti karir keulamaannya terjadi pada zaman Hayam Wuruk.

Sejak kapan dilakukan pengumpulan data?

Tahun 2007 sehingga sudah tiga tahun ini. Sebetulnya dulu kami tidak menyangka bisa diwujudkan dalam bentuk buku. Karena dulu kami suka dengan situs-situs dan berziarah. Pergi ke situs-situs ini sebetulnya karena hobi saja, dan hampir setiap hari ketemu data dan melakukan sharing data dengan teman-teman.

Adakah kesulitan dalam menggali data?

Kalau menurut saya tidak ada, karena ini selama ini kami mengunjungi situs-situs itu hobi saja. Dibukukan ini karena permintaan teman-teman.


Selama berapa lama mempersiapkan penulisan buku ini hingga terbit?

Kalau prosesnya yaitu dari diskusi-diskusi di PDM (Pengurus Daerah Muhammadiyah, red) hingga terbit selama satu setengah tahun, sedangkan databasenya sekitar tiga tahunan. Awalnya kami mengumpulkan data itu hanya untuk kepentingan komunitas saja. Tetapi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta pada Desember tahun 2008 meminta kami untuk presentasi. Setelah itu mereka merespon supaya ini dijadikan buku yang disampaikan dalam Muktamar, minimal untuk data dan mungkin Muhammadiyah bisa mempertimbangkan sebagai tambahan pelajaran sejarah di lingkungan Muhammadiyah.

Apa isi yang paling menarlk dalam buku ini?

Sebetulnya yang paling menarik adalah bagaimana kita berbeda dengan pandangan para sejarawan mengenai Islam masuk ke Indonesia pada umumnya. Kami berpandangan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Nabi Muhammad. Bahkan sebelum beliau wafat, Islam sudah ada di Nusantara. Beliau mengirimkan utusan ke Nusantara dan ini ada hadits dan datanya yaitu sahabat Ibnu Mas’ud yaitu pertama kali ke daerah Tatjek yang sekarang namanya Aceh.

Karena orang Aceh bilang bahwa leluhurnya ikut Perang Tabo, Perang Uhud. Hal ini berarti komunikasi orang Aceh dengan Madinah waktu itu luar biasa. Nah data-data begini (informasi tersebut) dari sesama teman yang suka mengkaji sejarah sambil lalu dan bukan para profesional.


Apa yang membedakan dengan buku tentang Majapahit lainnya?

Cara membaca data dan sejarah saja, saya menggunakan logika muslim. Sumbernya dari buku-buku konvensional saja yang kami baca ulang. Seperti Makam Troloyo, kami datang ke situsnya, kami pegang artefak dan kami tulis.

Dalam sehari berapa situs yang dibaca?

Satu situs mungkin bisa satu hari. Padahal banyak sekali situs sehingga bisa berhari-hari. Batu nisannya saja ada sekitar 30 buah. Yang kami datangi dari candi, makam hingga masjid bisa mencapai hampir 100-an buah.

Apa target dari penullsan buku?

Ingin membuat buku tentang Majapahit yang komprehensif dan ditulis dalam versi muslim, digunakan logika-logika muslim, bukan berarti dalam pandangan emosional. Misalnya Gadjahmada itu harusnya disambung. Menurut hukum sasandi dalam bahasa Sansekerta, kalau tulisan seperti Gadjahmada akan dipisah, maka nulisnya bukan Gadjah dan Mada melainkan Gadjah dan Ahmada. Jadi dalam versi muslim ini menunjukkan bahwa Gadjahmada itu nama orang muslim dan “gadjah” itu dalam tradisi Alawiyin berarti ulama dari Hadramaut. Seperti di dalam makam bupati Bantul zaman Mataram ada makam Gadjah Putih yang merupakan ulamanya Adipati Bantul pada masa itu yang merupakan orang dari Hadramaut.

Apa membedakan buku ini dengan buku tentang Majapahlt lainnya?

Terutama pada masa transisi ke Demak. Karena banyak orang mengira Demak itu musuh Majapahit. Padahal Raja Demak Raden Patah itu putra pangeran Brawijaya V yang berasal dari Tumapel. Sementara Majapahit ada dua ibukotanya yaitu Majapahit Daha dan Tumapel, Sehingga harus dipertanyakan isu bahwa Demak menyerbu Majapahit yang mana? Raden Patah menyerbu Majapahit yang ibu kota Daha yang rajanya Girindra Wardhana (Paman Raden Patah).

Tampaknya sejarah konvensional tidak detil sehingga ada yang menyebutkan Raden Patah anak durhaka dan ini menurut saya keterlaluan. Karena tidak diselami sejarahnya dahulu bagaimana Majapahit (itu). Padahal semenjak Raden Wijaya meninggal sudah dua ibukotanya yaitu Daha di Kediri dan Tumapel di Malang tetapi itu dihubungkan oleh Sungai Berantas. Jadi sebetulnya dua-duanya tidak musuhan, cuma untuk kepentingan kemudahan (saja). Tetapi masyarakat konvensional tahunya Majapahit itu satu dan diserbu oleh Demak dan ini yang perlu dipertanyakan.

This entry was posted in Sejarah. Bookmark the permalink.

Leave a comment